Kamis, 27 Oktober 2011

MENGENAL SASTRA


Mengenal Sastra


Sastra, apakah itu sastra? Sebuah pertanyaan yang tidak lagi asing di telinga kita. Untuk menjawabnya sangatlah susah. Jika kita menjawabnya hanya sekedar karangan fiksi saja, maka tidak layak jawaban itu dilontarkan. Sebabnya adalah banyak karya fiksi yang mendasari pada kenyataan. Bahkan cerita fiksi pun pada dasarnya merupakan cerita rekaan yang berangkat dari kenyataan. Dan jika kita memberikan batasan tentang sastra yang berupa tulisan yang indah saja, maka bukankah karya Danarto, atau Sutarji misalnya yang tidak lain memiliki keindahan tulisan yang tidak istimewa patut dipertayakan? Tapi mengapa karya kedua sastrawan itu bisa kita masukkan ke dalam karya sastra.
Dalam memberikan pengertian tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa sastra ialah bentuk seni yang diungkapkan oleh pikiran dan perasaan manusia dengan keindahan bahasa, keaslian gagasan, dan kedalaman pesan. Sastra merupakan bentuk seni, pengalaman hidup, dan sebagai rekayasa bahasa.
Dengan karya sastra, pengarang dapat melukiskan dan mencerminkan zaman dan masyarakat. Pengarang dapat mencerminkan cinta kasih, kesedihan, kebahagiaan,  penderitaan, penindasan, tipu muslihat, kejujuran, keheroismean, dan perjuangan. Pada hakikatnya, sastra adalah pengungkapan kehidupan lewat bentuk bahasa (Andre Harjana, 1981). Untuk dapat menikmati dan menilai suatu karya sastra itu baik atau tidak, maka perlu dilakukan apresiasi terhadap karya sastra tersebut.
Menurut S. Effendi apresiasi adalah kegiatan menggauli cipta sastra dengan sungguh-sungguh hingga tumbuh pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap cipta sastra.
            Kata “apresiasi” sendiri dalam KBBI diartikan sebagai :
a) kesadaran terhadap nilai-nilai budaya,
b) penilaian atau penghargaan terhadap sesuatu.
Jadi apresiasi merupakan suatu kegiatan atau proses untuk menanggapi suatu hasil karya yang dapat membentuk pengalaman bagi diri seseorang.
        Sastra merupakan bagian kehidupan dari suatu kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Bahasa merupakan jembatan penghubung antara pengarang dengan pembaca.
          Apresiasi sastra dapat juga kita artikan sebagai kegiatan memberikan penaksiran terhadap karya sastra serta nilai yang wajar, sadar, serta kritis.
         Perilaku kegiatan apresiasi sastra dapat dibedakan atas perilaku kegiatan secara langsung dan perilaku kegiatan secara tidak langsung. Apresiasi sastra secara langsung adalah kegiatan membaca atau menikmati cipta sastra berupa  teks maupun performansi. Kegiatan membaca suatu teks sastra secara langsung dapat terwujud dalam perilaku membaca, memahami, menikmati, serta mengevaluasi teks sastra, baik yang berupa cerpen, novel, naskah drama, maupun teks sastra yang lain, sedangkan kegiatan langsung yang mewujud dalam kegiatan mengapresiasi sastra pada performansi, misalnya tampak dalam perilaku melihat, mengenal, memahami, menikmati, ataupun memberikan penilaian pada kegiatan membaca puisi, cerpen, pementasan drama di radio, televisi, maupun pementasan di panggung terbuka.
          Kegiatan apresiasi sastra secara tidak langsung dapat ditempuh dengan cara mempelajari teori sastra, membaca artikel yang berhubungan dengan kesastraan, mempelajari buku-buku maupun esai yang membahas dan memberikan penilaian terhadap karya sastra, serta mempelajari sejarah sastra. Kegiatan itu disebut sebagai kegiatan apresiasi sastra secara tidak langsung karena kegiatan tersebut nilai akhirnya bukan hanya mengembangkan pengetahuan seseorang tentang sastra, melainkan juga akan meningkatkan kemampuan dalam rangka mengapresiasi suatu cipta sastra.
           
Kenikmatan apresiasi timbul bila :
1). Pembaca mampu menghayati dan memahami pengalaman orang lain lewat karya  sastra
2). Merasa kagum atas kemampuan sastrawan mengekspresikan dan memperjelas makna kehidupan bagi pengalaman bathinnya.
3). Pengalaman bertambah sehingga pembaca memiliki wawasan dan dapat lebih arif dalam kehidupan,
4). Mampu menemukan nilai-nilai estetik, moral dan kemanusiaan dalam karya sastra.

      Bekal awal seorang apresiator :
1). Punya minat dan kecintaan yang besar pada karya-karya sastra,
2). Penguasaan atas bahasa suatu karya sastra,
3). Penjiwaan atau keterlibatan batin,
4). Memiliki daya empati.


     




 





ILMU BUNYI BAHASA(FONOLOGI)


A.  Pengertian Fonologi
Kalau kita mendengar orang berbicara, entah berpidato atau bercakap-cakap, maka akan kita dengar runtunan bunyi bahasa yang terus-menerus, kadang-kadang terdengar suara menaik dan menurun, kadang-kadang terdengar hentian sejenak atau hentian agak lama, kadang-kadang terdengar tekanan keras atau lembut, dan kadang-kadang terdengar pula suara memanjang dan suara biasa.
Bunyi bahasa adalah bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia dan dapat ditangkap dengan telinga. Bunyi bahasa dapat pula diartikan sebagai bunyi yang diartikulasikan dan menghasilkan gelombang bunyi sehingga dapat diterima oleh telinga manusia. Bunyi tidak dapat dilihat dengan mata, tidak dapat diraba dengan tangan, tidak dapat dirasa dengan lidah ataupun dicium dengan hidung. Dalam kehidupan sehari-hari, kita lebih banyak berinteraksi dengan bunyi melalui indra telinga dibandingkan dengan empat indra lainnya.
            Contoh lain peristiwa terjadinya bunyi sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya orang sedang membelah kayu, menutup dan membuka pintu, bertepuk tangan, menyanyi, dan sebagainya. Semua itu merupakan kejadian yang dapat menimbulkan bunyi. Jadi pada dasarnya, terjadinya bunyi diakibatkan oleh adanya benda yang bergetar. Benda yang bergetar dapat terjadi sebagai akibat dari mendekatnya dua buah benda yang berjauhan, ataupun sebaliknya menjauhnya dua buah benda yang berdekatan.
Begitu pula dengan bunyi-bunyi yang dihasilkan, sangat beragam. Ada bunyi yang enak didengarkan, dan ada juga bunyi yang tidak enak untuk didengarkan. Seperti, suara seorang penyanyi profesional tentu lebih enak didengar jika dibandingkan dengan suara petir yang menggelegar. Walaupun bunyi tidak bisa kita lihat dengan mata, tetapi kita yakin bahwa bunyi itu ada dan dapat merambat melalui beberapa media, di antaranya benda cair, padat, gas. Sebagai bukti, kita dapat mendengarkan orang lain berbicara karena bunyi yang dihasilkan merambat melalui udara. Binatang-binatang laut dapat saling berkomunikasi lewat bunyi yang merambat melalui air. Sedangkan kita dapat berkomunikasi melalui saluran telepon dikarenakan bunyi yang merambat melalui kabel telepon.
Bunyi-bunyi bahasa inilah beserta runtunan dan segala aturannya yang menjadi objek kajian cabang linguistik yang disebut fonologi. Jadi, objek kajian fonologi adalah bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat ucap atau alat bicara manusia.
Fonologi secara etimologi terbentuk dari kata fon yaitu bunyi, dan logi yaitu ilmu.
Menurut status atau hierarki satuan bunyi terkecil yang menjadi objek kajiannya.
Secara garis besar, fonologi adalah subdisiplin dalam ilmu bahasa atau linguistik yang mempelajari bunyi bahasa. Pendapat ini dikemukakan antara lain oleh Roger Lass (1988). Roger Lass selanjutnya menyatakan bahwa untuk fonologi bisa dipersempit lagi sebagai subdisiplin ilmu bahasa yang mempelajari fungsi bahasa. Ini berarti bahwa fonologi mengkaji bunyi-bunyi bahasa, baik bunyi-bunyi itu kelak berfungsi dalam ujaran atau bunyi-bunyi secara umum. Di samping mempelajari fungsi, perilaku, serta organisasi bunyi sebagai unsur-unsur linguistik (fonemik), fonologi mempelajari juga yang lebih netral terhadap bunyi-bunyi sebagai fenomena dalam dunia fisika dan unsur-unsur fisiologikal, anatomikal, psikologikal dan neurologikal manusia yang membuat atau memproduksi bunyi-bunyi itu (fonetik).
Jika diikuti pandangan Roger Lass di atas, nyatalah bahwa fonologi memiliki dua cakupan, yakni cakupan arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas, fonologi mempelajari bunyi-bunyi bahasa baik bunyi-bunyi umum (fonetik) atau pembeda makna (fonemik). Dengan kata lain, dalam arti luas kajian fonologi mencakup fonetik dan fonemik. Dalam arti sempit, fonologi adalah ilmu yang mempelajari fungsi-fungsi bunyi dan perilaku bunyi suatu bahasa.
Secara umum fonetik biasa dijelaskan sebagai cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak, sedangkan fonemik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa dengan memperhatikan fungsi bunyi tersebut sebagai pembeda makna.

B.   Dasar-dasar Kajian Fonologi
Pandangan terhadap anatomi dan fisiologi dari organ manusia yang menghasilkan
ujaran, pandangan terhadap ujaran sebagai gelombang bunyi yang bisa dianalisa dari segi fisiknya, dan pandangan terhadap bagaimana bunyi ujaran itu diterima oleh pendengarnya, merupakan dasar-dasar kajian fonetik. Sementara itu pandangan terhadap ujaran sebagai suatu organisasi bunyi yang membawa makna, merupakan dasar-dasar kajian fonemik (fonologi dalam arti sempit).
            Berikut adalah garis besar dasar-dasar kajian fonologi mencakup dasar-dasar fonetik dan dasar-dasar fonemik.
a)      Jenis fonetik
b)      Alat ucap atau alat bicara
c)      Terjadinya bunyi bahasa
d)     Klasifikasi bunyi bahasa
e)      Dasar-dasar fonemik

C.   Tujuan Fonologi
Setiap ilmu atau kajian, akan ada suatu sasaran atau tujuan yang menggambarkan proses atau hasil kajian. Fonologi adalah sebagai suatu subdisiplin dalam ilmu bahasa atau linguistik yang membicarakan tentang “bunyi bahasa”. Sebagaimana halnya ilmu induknya yaitu linguistik, fonologi ada kaitannya dengan ilmu-ilmu lain, sehingga melahirkan interdisipliner, misalnya antara fonologi dengan ilmu kedokteran, terapi wicara dan lain-lain.
Tujuan fonologi atau studi fonologi dibedakan atas tujuan teoritis dan tujuan praktis.

A. Tujuan Teoritis
Pada pertemuan 1 (satu), Anda telah mempelajari bahwa kajian fonologi dibedakan atas fonetik dan fonemik (fonologi dalam arti sempit). Pembedaan ini tentu saja menjadikan tujuan kajiannya berbeda pula. Dalam hal ini John Clarck dan Colin Yallop (1991;3) membedakan adanya ahli fonetik (phonetic) dan ahli fonemik (phonologist), yang akan membedakan tugas dan tujuan dari masing-masing kajiannya.
            Bagi seorang ahli fonetik, tujuan studinya adalah untuk menemukan kebenaran umum dan memformulasikan hukum-hukum tentang bunyi-bunyi dan pengucapannya, dan pengenalan produksi bunyi-bunyi ujar itu. Di samping itu, tujuan teoritis dari studi fonetik ini adalah untuk mendeskripsikan, mengklasifikasikan, dan menunjukkan fungsi hubungan yang satu dengan yang lain.
            Secara lebih rinci tujuan teoritis studi fonetik bagi seorang ahli fonetik mencakup:
a)      Mendeskripsikan bagaimana fungsi organ tubuh sebagai alat bicara, penghasil bunyi-bunyi bahasa.
b)      Mendeskripsikan bagaimana proses terjadinya bunyi bahasa.
c)      Mengklasifikasikan bunyi-bunyi bahasa berdasarkan karakteristiknya.
d)     Mendeskripsikan runtunan bunyi dalam satuan-satuan bunyi tertentu.
Salah satu satuan bunyi adalah silabis.
e)      Pelambangan bunyi-bunyi dalam tulisan fonetis.

            Bagi seorang ahli fonemik (fisiologi) tujuan teoritis kajiannya adalah menemukan dan memformulasikan hukum-hukum bunyi bahasa tertentu, dan pengenalan akan fungsi-fungsi bunyi bahasa itu. Di samping itu, tujuan teoritis dari kajian fonemik ini adalah untuk mendeskripsikan, mengklasifikasikan, dan menujukkan fungsi hubungan antara satu bunyi dengan bunyi yang lain.
            Secara lebih rinci tujuan teoritis studi fonemik bagi seorang ahli fonemik mencakup:
a)      Menentukan objek kajian bunyi yang membedakan makna yaitu fonem.
b)      Menentukan identitas fonem.
c)      Mendeskripsikan kaidah-kaidah fonem.
d)     Mendeskripsikan struktur fonem.
e)      Mendeskripsikan khasanah fonem.
f)       Mendeskripsikan klasifikasi fonem.
g)      Mendeskripsikan perubahan-perubahan fonem.

B. Tujuan Praktis
            Tujuan praktis bagi studi fonetik berkaitan dengan bidang-bidang interdisipliner. Bagi pengajaran bahasa, fonetik diperlukan untuk tujuan latihan berbicara, penyembuhan penderita tunawicara. Untuk membantu orang-orang yang mempelajari bahasa kedua, kamus yang disertai dengan transkripsi fonetis sangan diperlukan. Jadi, untuk tujuan praktis penyusunan kamus yang memperhatikan aspek fonetis kata-kata dalam kamus, oleh beberapa ahli fonetik telah dicoba dilakukan. Seiring dengan berkembang kemajuan teknologi dewasa ini telah diproduksi semacam kamus audio yang memperhatikan aspek pelafalan dan intonasi.
            Bagi seorang ahli fonemik (phonologist), tujuan-tujuan praktis studi fonologi ini terbuka kesempatan yang seluas-luasnya. Bagi ahli perbandingan bahasa, pengetahuan fonem sangat diperlukan dalam rangka menentukan bahasa purba dengan suatu metode “rekonstruksi fonem”. Dari rekonstruksi fonem itu dapat disimpulkan adanya fonem atau bentuk asal dari suatu bahasa. Dengan metode “korespondensi fonem” dapat ditelusuri hubungan antar kekerabatan antara satu bahasa dengan bahasa yang lain. Hal ini diperlukan dalam rangka pengelompokan bahasa berdasarkan identitas atau karakteristik fonem.
            Tujuan praktis yang lain dari kajian fonologis ini adalah untuk pengajaran bahasa. Dalam kaitannya dengan pembelajaran menulis, terutama dalam tata tulis pengetahuan dan penguasaan kaidah-kaidah ejaan sangat diperlukan. Hal lain yang dapat diungkap dari tujuan praktis kajian fonologis yaitu penyusunan kamus. Sebagai suatu produk kebahasaan, kamus tidak dapat dilepaskan dengan pengetahuan tentang bunyi-bunyi bahasa (fonem) suatu bahasa.
           
  RANGKUMAN
  1. Fonologi sebagai subdisiplin linguistik menetapkan objek kajiannya adalah unsur bahasa yang terkecil atau bunyi bahasa.
  2. Sebagai suatu subdisiplin linguistik, fonologi memiliki dua cakupan, yakni cakupan arti luas dan arti sempit.
  3. Dalam arti luas, fonologi mempelajari bunyi-bunyi bahasa baik bunyi-bunyi umum (fonetik) atau pembeda makna (fonemik).
  4. Dasar-dasar kajian fonologi mencakup dasar-dasar fonetik dan dasar-dasar fonemik.
  5. Fonologi, sebagian dari studi linguistik berdasarkan tujuan kajiannya dibedakan atas fonologi teoritis dan fonologi praktis.
  6. Tujuan fonologi didasarkan atas tujuan teoritis dan tujuan praktis.
  7. Fonologi mencakup atas studi fonetik dan fonemik.
  8. Tujuan fonetik teoritis adalah untuk menemukan kaidah-kaidah bunyi secara umum.
  9. Tujuan fonetik praktis adalah menemukan kaidah-kaidah umum bunyi bahasa untuk keperluan memecahkan masalah secara praktis, misalnya latihan lafal untuk penderita tunawicara.
  10. Tujuan fonemik teoritis adalah menemukan kaidah-kaidah bunyi bahasa tertentu, misalnya fonem hambat /b, d, g/ dalam bahasa Jawa.
  11. Tujuan studi fonemik praktis adalah untuk keperluan memecahkan masalah, misalnya ejaan.
  12. Tujuan-tujuan fonologi secara teoritis maupun praktis, fonetik dan fonemik teoritis maupun praktis berdasarkan bidang kajian linguistik umum yaitu linguistik teoritis dan linguistik praktis atau linguistik terapan.





Rabu, 12 Oktober 2011

Perkembangan Bahasa Indonesia Secara Kronologis

Perkembangan Bahasa merupakan suatu peristiwa bersejarah. Perkembangan bahasa adalah akibat atau hasil yang ditimbulkan oleh adanya kegiatan pengembangan. Pada umumnya perkembangan bahasa tersebut diwujudkan dengan perubahan-perubahan bahasa itu. Dalam modul ini akan diperbincangkan perkembangan bahasa Indonesia sejak terbentuknya hingga sekarang serta perkembangan penyerapan kata dan istilah asing dalam pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia.
            Anda tentu sudah mengetahui bahwa bahasa Indonesia yang kita pakai sekarang ini berasal dari bahasa Melayu. Perkembangan bahasa Indonesia yang semula merupakan bahasa Melayu di dalam kehidupan berbahasa kita pada masa-masa awal berfungsi sebagai bahasa penghubung (lingua franca). Dari waktu ke waktu terjadilah perubahan sedemikian rupa sehingga bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan yang pada akhirnya menyandang fungsi sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan yang dialami oleh bahasa Indonesia merupakan suatu proses perubahan yang amat pesat. Beratus-ratus tahun bahasa Melayu, sebagai dasar bahasa Indonesia, berfungsi sebagai lingua franca di Nusantara. Perkembangan bahasa Indonesia yang semula merupakan bahasa Melayu di dalam kehidupan berbahasa kita pada masa-masa awal berfungsi sebagai bahasa penghubung (lingua franca).
Dari waktu ke waktu terjadilah perubahan sedemikian rupa sehingga bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan yang pada akhirnya menyandang fungsi sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan yang dialami oleh bahasa Indonesia merupakan suatu proses perubahan yang amat pesat.     Oleh sebab itu, pada saat bangsa kita memerlukan sebuah bahasa nasional yang dapat dijadikan alat komunikasi secara nasional, penunjukan bahasa Melayu disetujui secara aklamasi. Bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Minangkabau, atau bahasa Batak yang jumlah pendukungnya jauh lebih besar daripada jumlah pendukung bahasa Melayu, dengan rela dan senang hati menerima putusan itu. Maka, pada tanggal 28 Oktober 1928 dicetuskanlah kedudukan bahasa Indonesia itu dalam suatu ikrar pemuda Indonesia yamg kita kenal dengan “Sumpah Pemuda” pada butir ketiga. Secara lengkap dan ejaan yang asli butir-butir “Sumpah Pemuda” itu dapat Anda simak berikut ini.
~ Kami poetera dan poeteri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah
   Indonesia.
~ Kami poetera dan poeteri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
~ Kami poetera dan poeteri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa  
   Indonesia.
            Butir ketiga dalam Sumpah Pemuda itu menjadi ketukan palu berubahnya bahasa Indonesia sebagai lingua franca kepada bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Perkembangan bahasa Melayu yang berubah menjadi bahasa Indonesia didasarkan pada segi politik  dan ekonomi. Bahasa yang dapat diangkat menjadi bahasa nasional adalah bahasa yang berfungsi di dalam dunia politik dan ekonomi. Bahkan, ketentuan itu dikuatkan lagi oleh kemampuan bahasa tersebut mengungkapkan nilai-nilai budaya dan sastra. Hal itu terlihat pada lahirnya berbagai karya sastra jauh sebelum tanggal 28 Oktober 1928, seperti novel Siti Nurbaya (1922) karya Marah Rusli, dan novel Azab dan Sengsara (1918) karya Merari Siregar. Bahasa itu pula yang dipakai oleh Balai Pustaka sebagai satu-satunya penerbit pemerintah di Indonesia pada awal abad XX ini.

A. PERKEMBANGAN EJAAN
           Secara lengkap dapat dikatakan bahwa “ejaan” adalah keseluruhan peraturan bagaimana melambangkan bunyi-bunyi ujaran dan bagaimana antarhubungan di antara lambang-lambang itu (pemisah dan penggabungan dalam suatu bahasa). Secara teknis, ejaan adalah aturan tulis-menulis dalam suatu bahasa yang berhubungan dengan penulisan huruf, pemakaian huruf, penulisan kata, penulisan unsur serapan, serta penulisan dan pemakaian tanda baca.
Pertanyaan yang muncul adalah sebagai berikut; Apakah bahasa Indonesia sudah memiliki aksara sebelum diresmikan menjadi bahasa persatuan? Jawabnya adalah bahwa bahasa Melayu sudah memiliki aksara sejak beratus tahun yang lalu, yaitu aksara Arab-Melayu.
           Aksara Arab-Melayu dipakai secara umum di daerah Melayu dan daerah-daerah yang telah menggunakan bahasa Melayu. Akan tetapi, terjadi kontak budaya dengan dunia Barat, sebagai akibat kedatangan orang Barat dalam menjajah di daerah Melayu itu, di sekolah-sekolah Melayu sudah digunakan aksara Latin yang penggunaannya tidak terpimpin.
           Oleh sebab itu, Ch. A. Van Ophuijsen (seorang ahli bahasa dari Belanda) dibantu oleh dua orang pakar dari Melayu, yaitu Engkoe Nawawi gelar Soetan Ma’moer, dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim, menggabungkan dasar-dasar ejaan Latin dan ejaan Belanda, sehingga berhasil membuat ejaan bahasa Melayu, yang ejaan tersebut lazim disebut sebagai Ejaan Van Ophuijsen. Ejaan tersebut diresmikan pemakaiannya pada tahun 1901.
        Pada tahun 1926, menjelang Sumpah Pemuda, ejaan Van Ophuijsen mengalami revisi dengan tanpa perubahan yang berarti. Pada tahun 1947 muncullah ejaan yang baru sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen. Ejaan tersebut diresmikan oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Republik Indonesia, Dr. Soewandi, pada tanggal 19 Maret 1947 yang disebut sebagai Ejaan Republik. Oleh karena Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan adalah Dr. Soewandi, ejaan yang diresmikan itu disebut juga Ejaan Soewandi. Memang peresmian ejaan tersebut dilakukan pada tahun 1947, tetapi pekerjaan penyusunan ejaan tersebut sudah disempurnakan sejak pendudukan Jepang di Indonesia.

Hal-hal yang menonjol dalam Ejaan Soewandi itu adalah sebagai berikut:
  1. Huruf /oe/ diganti dengan /u/, seperti dalam kata berikut;
goeroe                            guru
itoe                                 itu
oemoer                           umur

2.   Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan /k/, seperti dalam kata berikut;
tida’                                tidak
Pa’                                  Pak
ma’lum                            maklum
ra’yat                             rakyat

3.   Angka dua (2) boleh dipakai untuk menyatakan pengulangan, seperti kata berikut;
beramai-ramai                 be-ramai2
anak-anak                       anak2
berlari-larian                    ber-lari2-an
berjalan-jalan                  ber-jalan2


4.   Awalan di- dan kata depan di, kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, seprti kata berikut;
diluar, dikebun, ditulis, ditempuh
diantara, disimpan, dipimpin, dipinggir,
dimuka,ditimpa, disini, dijemput.

5.   Tanda trema tidak dipakai lagi sehingga tidak ada perbedaan antara suku kata dan diftong, seperti kata berikut.
didjoempai                      didjumpai
dihargai                          dihargai
moelai                             mulai

6.   Tanda aksen pada huruf e tidak dipakai lagi, seperti pada kata berikut.
ekor                                ekor
heran                              heran
merah                             merah
berbeda                          berbeda

            Pada akhir 1959 sidang perutusan Indonesia dan Melayu (Slamet Mulyana dan Syeh Nasir bin Ismail, masing-masing berperanan sebagai ketua perutusan) menghasilkan konsep ejaan bersama yang kemudian dikenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu-Indonesia). Ejaan Melindo tidak pernah diresmikan  karena politik yang terjadi pada kedua negara itu tidak memungkinkan untuk meresmikan ejaan tersebut. Berbagai perencanaan yang dilakukan  dalam ejaan Melindo berkisar pada (1) penyamaan lambang ujaran antara kedua negara dan (2) perlambangan setiap bunyi ujaran untuk satu lambang. Oleh sebab itu, muncullah beberbagai gagasan yang sebagaian gagasan tersebut dituangkan dalam Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan.
            Pada tanggal 16 agustus 1972 Presiden Republik Indonesia meresmikan pemakaian Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang lazim disingkat dalam istilah EYD. Peresmian ejaan tersebut berdasarkan keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1972. Dengan dasar itu, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyebarkan buku kecil yang berjudul Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang memuat berbagai patokan pemakaian ejaan yang baru. Buku yang beredar yang memuat kaidah-kaidah ejaan tersebut direvisi dan dilengkapi oleh suatu badan yang berada di bawah departemen Pendidikan Kebudayaan yang diketuai olaeh Prof. Dr. Amran Halim dengan dasar surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 12 Oktober1972, Nomor 156/P/1972. Hasil kerja komisi tersebut adalah berupa sebuah buku yang berjudul Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang diberlakukan dengan surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0196/1975. Bersama buku tersebut lahir pula sebuah buku yang berfungsi sebagai pendukung buku yang pertama, yaitu buku Pedoman Umum Pembentukan Istilah.
            Beberapa hal yang perlu dikemukakan sehubungan dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan itu adalah sebagai berikut :
1. Huruf yang berubah fungsi adalah sebagai berikut ;
    a. /dj/ djalan menjadi /j/ jalan
    b. /j/ pajung menjadi /y/ payung
    c. /nj/ njanji menjadi /y/ nyanyi
    d. /sj/ isjarat menjadi /sy/ syarat
    e. /tj/ tjukup menjadi /c/ cukup
    f. /ch/ achir menjadi /kh/ akhir
2. Huruf yang resmi pemakaiannya yang dalam ejaan sebelumnya belum resmi
     pemakaiannya seperti berikut ;
      a. pemakaian huruf /f/ dalam kata maaf, fakir
      b. pemakaian heruf /v/ dalam kata universitas, valuta
      c. pemakaian huruf /z/ dalam kata lezat, zeni
 3. Huruf yang hanya dipakai dalam ilmu eksakta, yaitu sebagai berikut ;
     a. pemakaian huruf /q/ dalam rumus a:b = p:q
     b. pemakaian huruf /x/ dalam istilah Sinar-X
4. Penulisan di- awalan dan penulisan di kata depan seperti berikut ;
    a. penulisan awalan pada kata ditulis, dimakan, dijumpai
    b. penulisan kata depan pada kata di muka, di pojok, di antara
5. Bentuk ulang yang tidak ditulis dengan angka dua (2) seperti berikut ;
    Berpandang-pandangan, berlari-lari, rumah-rumah.